Selasa, 28 Oktober 2008

Menjalin Komunikasi Antar komunitas di Warung Kopi Bonesompe Poso

Oleh Rustomo
Nama kota Poso masih menyisakan sebuah nama ”Konflik”, padahal kota ini relatif kondusif. Namun Aman tetapi belum tentu damai Demikian orang Poso melukiskan situasi kotanya. Barangkali di warung kopi, masyarakat kelas bawah bisa tenang dan bebas berbicara tanpa sekat etnik yang berlabel agama, serta tanpa batasan bicara soal politik.

Di warung kopi inilah tempat orang Poso bicara tanpa perlu takut meski berbeda agama, beda pandangan politik dan beda etnik. Tempat yang strategis, warung kopi semakin penting ketika itu pasar yang merupakan simbol pertautan dua komunitas yang pernah terbelah itu dijadikan sasaran tembak. Ledakan bom yang terjadi di depan Pasar Sentral Poso tanggal 13 November 2004 dan di depan Pasar Sentral Tentena tanggal 28 Mei 2005 seakan mengubur pasar sebagai peace zone.

Di mana pun warung kopi hampir sama, tetapi di Poso punya makna yang penting dalam pasca konflik. Dalam kondisi masyarakat dalam memelihara perdamaian serta menghilangkan rasa curiga yang pernah terbelah menjadi dua. Kini, masyarakat Poso bisa duduk bersama dalam sebuah ruangan secara leluasa serta bebas berbicara tanpa saling curiga.

Ada beberapa warung kopi di Poso, tetapi barangkali hanya satu yang kerap dijuluki sebagai forum demokrasi, yaitu Warung Kopi Simpati, karena di warung kopi itulah hadir semua lapisan masyarakat dari komunitas berbeda. Ada tukang ojek, pedagang, pegawai negeri sipil, pengusaha, karyawan swasta, pejabat, dan ada pula anggota DPRD. Ada orang Islam, ada juga orang Kristen. Mereka datang tanpa atribut, tanpa simbol, dan tanpa perbedaan.

Tempat mengobrol
Warung Kopi Simpati terletak di Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 40, Kompleks Pertokoan Bonesompe, Kecamatan Poso Kota. Kawasan pertokoan Bonesompe sebelum konflik terbilang ramai atau boleh dibilang kota barunya Poso. Namun, tatkala konflik pecah tahun 1998, pertokoan itu seperti kawasan tak bertuan. Pemilik ruko-ruko mengungsi meninggalkan harta benda mereka. Kini kompleks pertokoan itu menjadi saksi bisu konflik yang hanya mengumbar amarah dan dendam.

Disinilah, warung Kopi Simpati tempat yang asyik untuk ngobrol. Tidak ada perbedaan-perbedaan, semua yang datang ke sini semuanya sama. Ada pedagang, tukang ojek, ada juga pejabat. Selain untuk ngobrol, warung kopi ini juga sebagai bernostalgia serta tempat bercurhat dengat teman.

Warung kopi yang dikenal sejak tahun 70 an, selain suasana dan kopinya enak, pejajan satu samalainnya seakan sudah saling mengenal dengan penuh keakraban. Sehabis minum kopi dan hidangan roti bakar, pejajan dipastikan bertambah wawasan karena tempat ini juga sebagai lokasi tukar informasi.

Ngopi barangkali hanya sebuah medium. Bertemu dengan banyak orang dari berbagai komunitas boleh jadi merupakan sebuah proses yang mendorong pembauran kembali ke jalan kedamaian.

Warung kopi ini sangat penting. Sebelum kerusuhan, baik orang Islam maupun Kristen duduk bersama. Setelah kerusuhan kita bertemu lagi, dan dalam suasana sebelum kerusuhan. Di saat terjadi ketegangan, dua komunitas orang Islam maupun Kristen justru duduk bersama di warung kopi ini.

Di Poso, Warung Kopi Simpati dikenal sejak puluhan tahun silam. Menurut Hans (35), pengelola warung kopi itu sekarang, warung kopinya buka sejak tahun 1939. Yang merintis adalah kakeknya. Sepeninggal sang kakek, giliran ayah Hans, yaitu Acona, yang mengelolanya. Hans yang oleh pelanggannya disapa Lee itu kemudian mengambil alih pengelolaan warung kopi setelah sang ayah meninggal beberapa tahun sebelum pecah konflik.

Kisah warung kopi itu juga seperti sejarah kelam Poso. Setelah dirundung nestapa akibat konflik yang nyaris tanpa henti selepas tahun 1998, warung kopi tersebut ikut mati. Seperti warga lainnya, keluarga Hans—yang keturunan Tionghoa dan pemeluk Kristen ikut mengungsi ke Palu, sekitar 220 kilometer arah barat Poso.

Merasa kehilangan
Namun, dalam tiga tahun kemudian seiring dengan kondusifnya situasi Poso, orang-orang Poso mulai merasa kehilangan: di manakah warung kopi yang berpuluh-puluh tahun menjadi tempat rendezvous dan kongkouw-kongkouw warga Poso itu? Banyak orang yang mencari-cari, terutama dari komunitas Islam, di manakah keluarga Hans berada?

Dalam pencarian Hans si penjual kopi, diketemukan telah membuka warung kopi di Mamboro, Palu, tahun 2001. Orang-orang Poso seakan tak rela bila dia tetap bertahan di Mamboro. Warga Poso membujuknya agar mau kembali membuka warung kopi di Poso. Hans si penjual kopi dicari-cari karena orang Poso merasa kehilangan. Dia diminta balik ke Poso dan membuka warung kopi lagi. Orang-orang Islam yang ikut mengamankannya.

Salah seorang warga Poso menjemputnya agar mau kembali ke Poso. Lagi pula usaha kopi di sana kurang laku. Nanti kalau ada apa-apa, justru teman-teman dari kalangan Muslim berjanji yang akan ikut mengamankan.

Dengan keyakinan penuh dan berbekal jaminan warga Muslim, Hans pun kembali ke tempat asalnya. Kini di ruko seukuran kira-kira 4 x 4 meter dan hanya memiliki lima meja itu Hans setiap saat siap melayani pelanggannya.

Saat itu, tak ada lagi bayangan ketakutan di wajahnya, termasuk saat bicara soal keputusannya kembali ke Poso untuk membuka lagi warung kopinya setiap pagi (pukul 07.30-12.00) dan sore (pukul 16.00-18.00). Dirinya tidak merasa takut lagi. Apa yang ditakutkan? Karena semua orang di Poso ini kita kenal semua ungkap Hans, ayah dari anak semata wayang. Dengan warung kopi itu Hans seakan membangun sebuah oase kecil bagi ratusan ribu penduduk Kabupaten Poso yang multi etnik dan multi religi.

Warung kopi ternyata bisa menjadi sarana efektif bagi terjalinnya komunikasi antarkomunitas tanpa harus didahului acara-acara seremonial dan protokoler yang justru sering sarat dengan kepentingan dan menghabiskan biaya.

Tidak ada komentar: