Senin, 27 Oktober 2008

PETARUNG SEJATI DALAM BERPOLITIK


Oleh Rustomo

Kalau kita melihat penampilan Hellarry Clinton pada saat berkampanye sebagai calon Presiden dari Partai Demokrat, semua politisi pemula di negri ini bahkan politisi dunia begitu terkesima oleh Hillary Clynton atas penampilannya sebagai petarung yang sejati.

Hillary Clinton menyerang setiap pidato politik Barack Obama (BO) guna menarik publik Amerika. Begitu juga Barack Obama, dengan suara khasnya saat kampanye untuk hal yang sama, yang selalu memancing antusiasme dari publik kulit putih maupun kulit hitam (negro).

Mereka berdua bersaing secara sehat. Sangat terlihat dewasa dan berkualitas pesona dari keduanya. Terlebih-lebih, pada saat Hillary Clinton ternyata kalah bersaing dari Barck Obama. Hillary Clinton benar-benar mempertontonkan kepada dunia, bagaimana yang notabene mantan Ibu negara Paman Sam itu, sangat dewasa, sangat legowo saat menerima kekalahannya, dan segera memberi dukungan kepada pesaingnya, dan langsung mengatakan “mari . . . . seluruh warga Amerika, kita mendukung Barack Obama unuk menjadi Presiden Amerika yang akan datang . . . . .” demikian pidato pada penutup Hillary Clinton yang disambut gemuruh oleh pendukung Demokrat. Pidato seperti inilah yang sangat bernilai “mendidik” bagi publik, bagaimana yang seharusnya menjadi seorang politikus yang sejati.

Di November tahun ini, negara super power ini akan melaksanakan pemilihan umum, menggantikan presiden George W Bush, yang dari Partai Republik. Dan kita, Bangsa Indonesia, akan menyaksika pembelajaran penting dalam banyak hal tentang apa yang akan diperlihatkan super power dalam prosesi pergantian kepala negaranya. Sehingga, pemilu yang dilkasanakan di negara super power tersebut mempunyai nilai jualnya, bagaimana berdemokratis itu dibangun dari negara yang bukan berlandaskan Pancasila. Pemilu yang secara psikologis berpengaruh kepada negara-negara yang mempunyai kepentingan dengan Amerika.

Bahwa, memang tidak ada yang murah, tidak ada yang gratis, untuk membuat kita menjadi dewasa dalam berpolitik. Konsekuwensi yang akan dipertaruhkan bukan hanya bentuk uang yang tidak sedikit akan terbuang, biaya untuk kampanye, biaya untuk memuluskan posisi. Bahkan terkadang nyawa manusia yang tidak tahu apa apa menjadi korban. Di Amerika, pada awal sejarah negara tersebut terbentuk, nilai nyawa manusia sangatlah murah. Hal demikian, bisa juga terjadi di negara manapun, termasuk di negri kita ini.

Kalau kita mau belajar dari negara maju dari apa yang terurai diatas tersebut, saat ini saja, kita masih dihadapkan pada ruwetnya tatanan sebagai calon Presiden/Wakil Presiden melalui Rancangan Undang Undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres). Hingga Pemilu 2009 yang waktunya sudah dekat, RUUnya baru digodok.

Dapat dibayangkan, masih mentahnya perangkat hukum menyangkut persoalan pemilihan Presiden tersebut. Belum lagi persoalan mental bangsa kita yang secara keseluruhan belum melek politik. Hal ini terlihat pada belum dewasa dan belum mau menerima kekalahan dari orang lain, mengutak-atik akan adanya kecurangan. Hal ini sudah amat sering dan banyak peristiwa ditemui yang berindikasi pada konteks “belum melek politik” tersebut.

Kesadaran Politik Rakyat Rendah
Kalau kita sejaca jujur bertanya, Benarkah kesadaran politik, rakyat Indonesia masih rendah? Pasti jawabnya, Mungkin saja! Sekalipun bisa dikatakan masyatakat mulai melek politik, namun secara umum tingkat kesadarannya masih rendah. Sehingga masih muncul istilah secara umum masih buta, maaf, bukan berarti merendahkan .

Kenyataan apa yang dipahami oleh masyarakat saat ini tentang aktivitas politik sampai saat ini hanyalah sekedar arahan tentang keterlibatan mereka dalam pemilu. Bila dicermati lebih jauh lagi proses suatu penyambungan suara itu pun hanya berhenti pada sekedar memilih warna /gambar.

Secara umum rakyat Indonesia tidak bisa mengetahui, menyadari dan memahami siapa wakil mereka, sejauh mana konsistensi pelaksanaan tugasnya, bahkan lebih jauh lagi mereka tidak/belum pernah mengenal individunya. Ketika dalam prakteknya para wakil yang telah dipilih rakyat ini telah menyuarakan pendapatnya di parlemen.

Padahal yang sebenarnya mereka yang dipilih rakyat tersebut tidaklah mewakili rakyat diparlemen justeru sebaliknya, lebih banyak mewakili pribadinya sendiri. Sampai disini, keberadaan ‘wakil-wakil rakyat’ bagi rakyat yang memilihnya bagaikan tak ada arti.

Keberadaan partai yang seharusnya sebagai kontrol berjalannya kebijaksanaan sistem, kenyataannya di Indonesia tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Suara-suara vokal yang mengkritik kebijaksanaan hanyalah sebatas suara individu, termasuk bagi mereka yang berada di parlemen.Kondisi pemilu di Indonesia tampaknya baru sampai pada target ‘berjalannya aktivitas tersebut tanpa kendala yang berarti’.

Sedemikian ruwetnya model pemilihan umum di Idonesia. Ratusan milyar bahkan trilyunan rupiah terkuras untuk biaya Pemilu. Justeru pemilu yang akan datang terkesannya melonggarkan napsu partai yang baru lahir memaksakan calon presiden. Persoalan lain, akan banyak perdebatan di kalangan fraksi fraksi tentang suara sah dari kursi, tentang kapan pejabat negara mengundurkan diri dari jabatannya jika mencalonkan diri sebagai Capres dan Cawapres serta apakah presiden/wakil presiden terpilih bisa menjabat sebagai pimpinan partai. Terlebih Kondisi masyarakatnya, yang bisa dikatakan belum melek politik atau baru taraf belajar politik.

Tidak ada komentar: