Selasa, 08 Juli 2008

Berilah Tawaran Alternatif Melalui Pendekatan Budaya Untuk Masyarakat Banggai

Kasus Banggai kepulauan (Bangkep) propinsi Sulawesi Tengah ahkir - ahkir ini menjadi banyak perhatian masyarakat, ada apa sebenarnya yang terjadi di daerah tersebut. Kabupaten yang merupakan daerah kepulauan ini telah bisa menghadirkan sebuah kejutan diatas pentas politik dan sosial. Hentakan yang disuguhkan adalah permaianan domino (Gambling) sebagian warga masyarakat Bangkep yang menginginkan meninggalkan Ibukota Sulawesi Tengah dan kemudian akan bergabung dengan Propinsi Maluku Utara.

Gambling sebagian masyarakat Bangkep sangat berani menanggung segala resiko yang akan dihadapi karena dari akar permasalahan penolakan MK terhadap gugatan tokoh adat Banggai yang menggugat Undang Undang 51 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah, Kab.Boul, Morowali dan Kab. Banggai, dan khususnya pada pasal 11 yang memindahkan tata letak Ibukota dari Banggai ke kota Salakan sebagai kota Ibukota.

Berarti kalau diurai dari akar permasalahannya, sudahlah jelas, pada Undang undang Nomor 51 tahun 1999 pada pasal 10 dan pasal 11. Pada pasal 10 ayat 3 menyebutkan Kabupaten Bangkep berkedudukan di Banggai, sedangkan pada pasal 11 menyebutkan, selambat-lambatnya dalam jangka lima tahun terhitung mulai peresmian Kabupaten Bangkep, kedudukan ibukota dipindahkan ke Salakan.

Belum masuk sepuluh tahun setelah Undang Undang 51/1999 disyahkan, dua rumpun yang memiliki ikatan persaudaraan yang berdiri melalui ikatan Pererat pesatuan, membangun negri, tiba tiba muncul suatu keretakan antara Banggai dengan Salakan yang hanya disulut adanya perebutan tata letak ibukota Kabupaten dan ini menjadi sebuah bola api panas.

Perebutan bola api panas menyulut suatu permusuhan antara Banggai dengan Salakan. Permusuhan berawal dari pro kontra atas pemindahan ibukota Bangkep dari Banggai yang berada di Pulau Banggai ke Salakan yang berada di Pulau Peling.Masyarakat yang berada di Banggai menginginkan ibukota Bangkep tetap berada di Banggai. Sementara masyarakat yang berada di pulau Peling merasa mempunyai hak atas ibukota.

Perebutan bola api panas memunculkan suatu amarah warga Banggai terhadap warga Salakan di Pulau Peling. Akibatnya, terjadi pengusiran dari Banggai terhadap warga Salakan serta mengusir beberapa anggota DPRD yang dianggap sebagai penghianat. Selain itu, warga Banggai juga melakukan pemblokiran distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Banggai ke Salakan.

Tidak hanya terjadi pemblokiran BBM yang dilakukan, tetapi perkantoran instansi pemeritahan setempat juga ikut menjadi korban diblokir sehingga aktivitas roda pemerintahan sempat lumpuh total.

Kedua rumpun anak bangsa kalau diibaratkan dua anak, dua duanya sangat mencintai sang ibundanya. Tetapi kedua anak mempunyai perbedaan perasaan, dan sifat yang satu merasa iri karena saudaranya mendapat perhatian dan satunya tidak, sehingga anak yang kurang mendapatkan perhatian menginginkan lebih baik minggat untuk mencari seorang ibu lain namun tak mau pisah dengan saudaranya sendiri.


Kalau mencermati perebutan bola api panas yang diperebutkan dua rumpun anak bangsa tersebut, sangatlah jelas duduk permasalahannya, namun, ibundanya tak bisa berbuat banyak hanya geleng geleng kepala tanpa menanyakan kepada kedua anaknya apa permasalahannya.

Apakah ibunya sudah tidak mau duduk bersama atau ngambek untuk berdialog, padahal duduk bersama untuk berdialog akan menemukan sebuah solusi yang terbaik tanpa bakar bakaran dan blokir-blokiran daerah. Sebagai ibu berkewajiban memberikan sebuah pengertian untung ruginya kepada anaknya yang akan meninggalkan ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Dan begitu juga ibunya harus mendengar keluhan atau permintaan dari anaknya yang akan minggat.

Apakah ini dikarenakan sang ibu sudah terlajur selalu membawa palu putusan ? kalau berpegang pada palu putusan, Ibukota sudah sembilan tahun berada di banggai padahal berlakunya lima tahun. Sembilan tahun sebagai letak ibukota, masyarakat setempat sudah merasa mapan aktivitasnya seperti pelayanannya, ekonominya, serta kemapanan hidupnya, tiba-tiba menghadapi suatu perubahan, apa yang terjadi ? Kemarahan yang tidak menggunakan landasan akal pikir yang sehat seperti yang baru terjadi di Banggai.

Jikalau Pemerintah tetap menggunakan palu putusan, sosialisasikan pemahaman tentang keuntungan dan kerugiannya serta dari aspek strategi penempatan ibukota kepada masyarakat di kedua wilayah. Hal demikian, masyarakat akan lebih mengerti dan memahami dari sebuah putusan dan kebijakan pemerintah yang diambil.

Selain itu, pemerintah juga bisa memberi sebuah tawaran alternatif melalui pendekatan budaya, pendekatan semacam ini sangat efektif dalam menghentikan kemarahan sosial yang menjurus pada konflik di Banggai. Filisopi hidup masyarakat Banggai, ”Konggolio Kotano Kenendeke Kolipu” yang artinya Mempererat Persatuan, Membangun Negri akan lebih efektif mengembalikan harmonisasi kehidupan masyarakat Banggai daripada berpegang pada palu putusan. ****

Tidak ada komentar: